JAKARTA (Suara Karya): Rancangan Undang-Undang Pendidikan
Tinggi (UU Dikti) yang baru disahkan DPR pada 13 Juli lalu, memerintahkan
pemerintah untuk mendirikan Akademi Komunitas (Community College). Lembaga itu
adalah lembaga pendidikan tinggi jenjang D-1 dan D-2 yang dirancang fleksibel,
baik dari sisi kurikulum, program studi, dan waktu perkuliahannya.
"Dalam Akademi Komunitas ini nantinya program studi
disusun sesuai dengan sumber daya dan potensi lokal masing-masing daerah.
Konsepnya seperti apa, sudah kita buat. Tinggal disesuaikan dengan
masing-masing daerah saja," kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
(Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Djoko
Santoso kepada wartawan, di Jakarta, Selasa (17/7) terkait dengan UU Dikti.
Dijelaskan, Akademi Komunitas tidak hanya bisa didirikan
oleh pemerintah, tetapi juga kalangan swasta. Pemerintah sendiri, tahun ini
akan mendirikan 20 Akademi Komunitas yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Pada tahap awal ini, Akademi Komunitas akan dititipkan
di beberapa perguruan tinggi negeri (PTN). Karena tenaga pengajarnya diambil
dari dosen yang terkait dengan program studinya," ujarnya.
Jadwal perkuliahan, lanjut Djoko, diatur sangat fleksibel.
Mahasiswanya bisa cuti di setiap semesternya untuk bekerja. "Boleh kuliah
satu semester dulu, kemudian cuti untuk bekerja. Kalau punya uang, kuliah lagi.
Proses perkuliahannya sangat fleksibel, karena yang penting dia harus bekerja
sesuai dengan jurusannya," papar Djoko.
Pendirian Akademi Komunitas, Djoko mengatakan, dimaksudkan
untuk menjamin perluasan akses bagi anak bangsa yang ingin menikmati pendidikan
tinggi, sejalan dengan peningkatan mutu sumber daya tenaga kerjanya.
"Lulusan perguruan tinggi kita masih sangat kecil, baru
20 persen. Akademi Komunitas merupakan salah satu cara bagaimana anak bangsa
ini bisa meningkatkan kualitas pendidikannya, tanpa kehilangan kesempatan
kerja," katanya.
Tentang keluhan perguruan tinggi yang kesulitan membuka
program studi prodi baru, Djoko mengakui, pihaknya memang menunda sejumlah
prodi baru karena tengah dilakukan pembinaan prodi yang ada. Sebab ada sekitar
4.000 prodi yang belum mendapat akreditasinya.
"Jika satu prodi belum terakreditasi, perguruan tinggi
tidak bisa mengeluarkan ijazah. Itu sebabnya pendirian prodi baru masih
tertahan," ucapnya.
Namun, lanjut Djoko, dengan adanya UU Dikti, maka setiap
perguruan tinggi baru akan mendapatkan akreditasi secara otomatis baik untuk
penyelenggaraan institusi maupun program studi. Akreditasi ini diperoleh pada
saat memperoleh izin penyelenggaraan.
Sumber : Suara Karya Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri tanggapan anda.